Senin, 21 Januari 2008

Jangan Beli Asuransi Jiwa !!!

Abaikan saja iklan asuransi di media massa, tolak agen asuransi yang minta waktu untuk bertemu, dan tak usah repot-repot mengunjungi kantor perusahaan asuransi, kalau dalam hidup ini anda tidak mempunyai risiko apapun. Tapi persoalannya, siapa dari antara kita yang terbebas dari risiko apapun? Justru karena setiap orang mempunyai risiko, bahkan banyak risiko, kita perlu dengan lebih serius dan teliti mempelajari seluk beluk perasuransian.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak risiko, mulai dari risiko sakit, meninggal dunia, kehilangan penghasilan, PHK, kehilangan aset karena berbagai kemungkinan peristiwa (kebakaran, tabrakan, perampokan, bencana alam). Sebagian cukup besar dari risiko itu mempunyai dampak ekonomis yang bisa dihitung secara matematis seperti keharusan membayar biaya rumah sakit, biaya penguburan, kehilangan penghasilan bagi keluarga yang ditinggalkan, sampai lenyapnya nilai aset yang dimiliki.
Dalam masyarakat tradisional, ada satu mekanisme bersama untuk menanggulangi risiko seperti ini. Di desa-desa di Jawa dulu ada lumbung desa. Di tempat itu setiap petani di musim panen menyetorkan sebagian hasil panen, dan pada musim peceklik seluruh warga desa berhak untuk mendapat santunan dari lumbung tersebut. Di desa ada juga perkumpulan kematian. Setiap warga atau keluarga diwajibkan membayar iuran tahunan, dan setiap warga yang meninggal dunia akan mendapat bantuan biaya pemakaman atau sekadar uang duka yang berasal dari hasil iuran tersebut. Bahkan ada juga kas desa hasil iuran seperti itu yang dipakai untuk membantu anggota masyarakat yang mendapatkan musibah lain. Inilah cara tradisional untuk pengalihan risiko. Masyarakat mengambilalih risiko anggotanya dengan pendekatan sosial tanpa orientasi laba.
Masyarakat modern mengadopsi mekanisme tersebut, tetapi dengan pendekatan komersial, melalui satu mekanisme baru yang disebut asuransi. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa asuransi adalah salah satu mekanisme pengalihan risiko dari satu pihak kepada pihak lain. Untuk pengalihan risiko itu, pihak pertama (tertanggung, nasabah) membayar sejumlah uang yang disepakati (premi) kepada pihak kedua (penanggung, perusahaan asuransi) yang berjanji akan memberikan ganti rugi sebesar yang diperjanjikan kalau suatu saat risiko yang dialihkan itu sungguh-sungguh terjadi. Transaksi pengalihan risiko itu diikat dalam surat perjanjian yang disebut perjanjian polis asuransi. Dalam polis itu dicantumkan secara detil risiko apa saja yang ditanggung oleh perusahaan asuransi berikut besaran premi yang dibayar nasabah dan ganti rugi yang mungkin diberikan oleh perusahaan asuransi.
Sebagaimana umumnya sebuah transaksi, kedua belah pihak tentu saja berharap untuk mendapatkan manfaat dari transaksi yang dilakukan. Dalam hal berasuransi, seorang nasabah mendapatkan manfaat beruba perlindungan atau proteksi atau rasa aman, sedangkan perusahaan asuransi mendapatkan manfaat berupa laba usaha. Secara sederhana, laba perusahaan asuransi diperoleh dari total pendapatan premi dikurangi klaim yang dibayarkan kepada nasabah dan biaya operasional. Jadi, mirip dengan sistem lumbung desa atau kas desa, perusahaan asuransi mengumpulkan dana dari masyarakat dan memberikan manfaat kepada setiap pembayar polis yang menghadapi risiko tertentu. Hanya saja, untuk pekerjaan itu perusahaan asuransi berharap dan berpeluang mendapatkan keuntungan. Karena itu perusahaan asuransi hanya mau menanggung risiko yang bisa diperhitungkan. Sedangkan risiko yang tidak bisa diperhitungkan seperti kematian dalam perang atau kematian karena wabah, misalnya, akan ditolak oleh perusahaan asuransi. Kalaupun kemudian ada perusahaan asuransi yang berani menanggung risiko jenis ini, maka manfaatnya akan disesuaikan dengan membandingkan risiko yang terjadi dan risiko yang diperkirakan terjadi.
Dalam perkembangannya, asuransi dikategorikan dalam dua kelompok besar, yakni asuransi umum (dulu pernah disebut asuransi kerugian) dan asuransi jiwa. Sebenarnya keduanya mempunyai inti bisnis yang sama, yakni pengalihan risiko. Yang membedakan antara keduanya hanyalah bahwa yang pertama menyangkut risiko-risiko atas aset, sedangkan yang kedua menyangkut risiko-risiko atas hidup dan jiwa seseorang. Asuransi umum kemudian dikemas dalam berbagai produk seperti asuransi kebakaran, asuransi kendaraan bermotor, asuransi bencana alam, asuransi angkutan dll, sedangkan asuransi jiwa dikemas dalam produk-produk seperti asuransi berjangka, asuransi purnawaktu, asuransi pendidikan dll.

Bukan Ganti Untung
Salah satu filosofi yang perlu diingat dalam berasuransi adalah bahwa tugas perusahaan asuransi adalah mengambil alih dan menanggung risiko nasabahnya. Berapa besar risiko yang dijamin oleh perusahaan asuransi? Dalam hal ini batasannya jelas, yakni sebesar risiko yang dihadapi oleh nasabah, dan maksimal sebesar uang yang dipertanggungkan. Mengenai hal ini ada dua hal yang perlu dicermati.
Pertama, tugas perusahaan asuransi adalah memberikan ganti rugi sebesar tingkat kerugian yang secara riil dihadapi oleh nasabah (prinsip indemnitas). Dengan kata lain, tugas perusahaan asuransi adalah mengembalikan kondisi ekonomi nasabah seperti sesaat sebelum risiko terjadi. Misalnya saja seorang nasabah mengasuransikan rumah tinggalnya dengan asuransi kebakaran, dengan uang pertanggungan Rp200 juta. Dalam waktu yang dipertanggungkan, bagian dapur rumah terbakar, dan total kerugiannya adalah Rp50 juta. Dalam kondisi seperti itu perusahaan asuransi hanya akan membayar kerugian sebesar Rp50 juta, sehingga kondisi ekonomi tertanggung akan kembali seperti sesaat sebelum kebakaran terjadi. Bahkan kalau rumah tersebut diasuransikan dua kali (di dua perusahaan asuransi yang berbeda), nasabah itu tetap hanya akan menerima ganti rugi total sebesar Rp50 juta, bukan dua kali Rp50 juta.
Kedua, perusahaan asuransi akan membayar kerugian maksimal sebesar uang pertanggungan, karena premi yang kita bayarkan maksimal hanya cukup untuk itu. Jadi dengan contoh di atas, kalau seluruh rumah terbakar dan total kerugian adalah Rp300 juta, maka ganti rugi yang kita peroleh tetap Rp200 juta. Dan kalau kita mempunyai dua polis masing-masing dengan uang pertanggungan Rp200 juta, baru kita akan mendapatkan ganti rugi total sebesar Rp300 juta.
Persoalannya, bagaimana risiko atas hidup seseorang dihitung? Dengan kata lain, bagaimana menghitung pertanggungan yang tepat untuk asuransi jiwa? Uang Pertanggungan asuransi jiwa dihitung berdasarkan berapa “manfaat ekonomi” orang yang dipertanggungkan (misalnya kepala keluarga) bagi keluarganya. Tentu saja akan sulit untuk mendapatkan hitungan yang obyektif, sehingga kemudian uang pertanggungan akan ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan asuransi dengan nasabah. Calon nasabah bisa menetapkan uang pertanggungan setinggi mungkin dan premi yang harus dibayarkan akan mengikuti secara proporsional. Dan perlu dicatat, sistem pembayaran klaim dalam asuransi jiwa tidak menganut prinsip indemnitas seperti yang ada pada asuransi umum. Begitu tertanggung meninggal dunia sesuai dengan kriteria dalam polis, maka ahli waris akan mendapatkan klaim penuh sebesar uang pertanggungan.

Salah Kaprah
Dalam menyikapi dunia asuransi, yang banyak dipersoalkan oleh nasabah, terutama di Indonesia, adalah definisi dari manfaat berasuransi. Sebagian besar masyarakat kita mempersoalkan, kemana larinya premi yang sudah dibayarkan kepada perusahaan asuransi. Mereka merasa menyetorkan iuran (premi) secara rutin, tetapi mengapa mereka tidak menerima apa-apa kalau tidak terjadi apa-apa. Pertanyaan itu tidak hanya menyangkut industri asuransi jiwa, tetapi juga asuransi kerugian. Masyarakat mempertanyakan itu dengan pemikiran bahwa karena sudah menyetorkan dana, maka dia berhak mendapatkan dananya kembali.
Persoalan itu jelas dilatarbelakangi oleh kekurangpahaman terhadap mekanisme yang ada dalam industri asuransi. Masyarakat lupa bahwa produk yang dibeli dari perusahaan asuransi adalah proteksi dan perlindungan, sesuatu yang memang tidak kasat mata. Masyarakat lupa bahwa sepanjang periode yang diperjanjikan (satu tahun atau jangka waktu lain yang diperjanikan) mereka sudah menikmati proteksi dan rasa aman. Nyatanya, kalau terjadi risiko yang diperjanjikan, menurut mekanismenya perusahaan asuransi akan membayar ganti rugi.
Namun di lain pihak memang tidak mudah untuk menyadarkan masyarakat bahwa jasa yang dibeli berupa proteksi itu sudah dinikmati. Bagi sebagian cukup besar anggota masyarakat, yang namanya manfaat dari perusahaan asuransi adalah ketika mereka menerima sejumlah uang. Karena itu kalangan perusahaan asuransi memutar otak untuk menyiasati tuntutan masyarakat seperti itu. Banyak perusahaan asuransi umum yang memberikan bonus kalau sepanjang waktu tertentu tidak terjadi klaim. Padahal bonus yang dibayarkan tidak lain juga berasal dari nasabah sendiri. Artinya, kalau mekanisme bonus itu tidak ada, premi yang harus dibayar oleh nasabah bisa jadi akan jauh lebih murah.
Sementara itu perusahaan asuransi jiwa menyiasati tuntutan itu dengan cara lain, yakni menggabungkan produk asuransi dengan produk tabungan, dan di kemudian hari juga digabung dengan produk investasi. Untuk itu premi yang harus dibayar oleh nasabah sebenarnya terdiri dari dua komponen. Sebagian dari premi itu akan dialokasikan untuk asuransi (membayar klaim bila terjadi risiko), dan sebagian lainnya akan dialokasikan entah untuk tabungan entah untuk investasi. Berapa persen porsi untuk masing-masing? Ini sangat tergantung pada cara perusahaan asuransi mengemas produknya. Kalau perusahaan asuransi ingin memperlihatkan bahwa uang pertanggungannya (misalnya tertanggung meninggal) besar, maka porsi preminya akan cukup besar. Tapi kalau perusahaan ingin memperlihatkan bahwa uang tunainya akan besar, maka porsi preminya akan lebih kecil.
Perkembangan ini tentu merugikan nasabah yang ingin membeli proteksi murni. Namun sekarang relatif sulit untuk mendapatkan produk asuransi jiwa yang murni di pasaran, yang tidak digabung dengan produk tabungan (dwiguna) atau dengan produk investasi (unit linked). Di sinilah seorang calon nasabah yang tidak mempunyai perencanaan yang baik bisa terjebak, terutama oleh ilustrasi yang disajikan oleh agen asuransi jiwa. Kini jarang ada agen asuransi jiwa yang menjelaskan bagian terpenting dari asuransi jiwa, yakni soal risiko dan proteksi. Agen lebih banyak berbicara mengenai berapa besar nilai tunai yang mungkin diperoleh oleh calon nasabah, sehingga nasabah yang tidak paham bisa terjebak untuk membeli sesuatu yang tidak perlu.